Novel Baswedan Harap Jokowi Benahi Hukum 'Compang-Camping'

Korban penyiraman air keras Novel Baswedan mengaku prihatin terhadap tuntutan yang diberikan kepada dua terdakwa pelaku tindak kejahatan terhadap dirinya.
Risalahrakyat.com -- Korban penyiraman air keras Novel Baswedan mengaku prihatin terhadap tuntutan yang diberikan kepada dua terdakwa pelaku tindak kejahatan terhadap dirinya.

Diketahui, terdakwa Rahmat Kadir Mahulette dan Ronny Bugis yang juga merupakan anggota Polri aktif dituntut satu tahun pidana penjara oleh Jaksa Penuntut Umum di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Kamis (11/6) lalu.

Novel yang merupakan penyidik senior KPK ini menanti agar Presien Joko Widodo agar turun tangan untuk memberikan atensi terhadap proses penegakan hukum terhadap para pelaku dalam kasusnya.

"Dalam kesempatan ini saya juga mendesak kepada bapak Presiden, apakah masih akan tetap membiarkan, apakah terus kemudian akan turun untuk membenahi masalah-masalah seperti ini," kata Novel Baswedan melalui rekaman video kepada wartawan, Jumat (12/6).

Dia mengingatkan bahwa Jokowi sejak awal kasus ini bergulir sudah memberikan atensi yang tinggi untuk penyelesaiannya. Namun kemudian, kata Novel, Jokowi menyerahkan sepenuhnya kepada aparat yang dinilainya 'bermasalah' untuk menuntaskan kasus ini.

Menurut dia, saat ini persidangan tersebut sudah menunjukkan proses penegakan hukum berjalan sangat tidak baik.

"Tentunya ketika potret penegakan hukum yang digambarkan dengan compang-camping ini, asal-asalan ini tentunya membuat nama bapak presiden akan nampak sekali tidak baik," kata Novel.

"Oleh sebab itu saya berharap tentunya hal ini tidak boleh dibiarkan," tambah dia lagi.

Lihat juga: Novel Minta Jokowi Perhatikan Tuntutan Ringan Kasus Air Keras

Bukan hanya melalui video itu, Novel pun mengungkapkan kekesalannya atas tuntutan Jaksa itu melalui akun media sosial twitter pribadinya. Novel yang juga merupakan mantan anggota Polri ini mengaku merasa 'dikerjai' dengan fakta persidangan yang telah membuat tuntutan satu tahun penjara itu.

Dia pun dalam cuitannya secara terbuka meminta agar Jokowi tidak membiarkan permasalahan ini berlarut-larut. 

"Keterlaluan memang, sehari-hari bertugas memberantas mafia hukum dengan UU Tipikor, tapi jadi korban praktik lucu begini. Lebih rendah dari orang menghina," cuit Novel, Kamis (11/6).

Tuntutan terhadap para terdakwa itu memang menuai kritik keras dari berbagai elemen masyarakat. Mantan Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) jilid IV Laode M. Syarif menilai tuntutan satu tahun terhadap dua terdakwa penyiraman air keras Novel Baswedan tidak bisa diterima oleh akal sehat.

Laode bahkan membandingkan tuntutan rendah dua terdakwa yang merupakan anggota Polri aktif itu dengan Bahar bin Smith yang terjerat kasus penganiayaan.

"(Tuntutan itu) tidak dapat diterima akal sehat. Bandingkan saja dengan penganiayaan Bahar Bin Smith yang korbannya tidak cacat permanen dan bandingkan dengan Novel yang kehilangan mata permanen," kata Laode kepada CNNIndonesia.com dalam pesan tertulis, Jumat (12/6).

Senada, Wakil Ketua Komisi III DPR RI Ahmad Sahroni juga menilai bahwa pertimbangan Jaksa dalam tuntutannya tidak masuk akal dan tidak dapat diterima.

Bendahara Umum Partai NasDem itu juga mempertanyakan alasan JPU menyampaikan alasan tersebut dalam persidangan. Pasalnya, Sahroni berkata, setelah ditangkap oleh aparat kepolisian beberapa waktu lalu kedua pelaku pernah mengaku dendam terhadap Novel.

"Lagian sudah jelas-jelas pelaku mengaku dendam, kok bisa ada kesimpulan jaksa enggak sengaja," katanya.

Berangkat dari itu, Sahroni mengaku akan membawa pembahasan mengenai situasi ini dalam Rapat Kerja antara Komisi III DPR RI dengan Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin di masa sidang mendatang.

Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri pun angkat suara soal tuntutan ringan pada dua terdakwa penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan.

Firli mengatakan sebagai negara hukum ada baiknya proses hukum yang berjalan diikuti. Dia pun berharap agar Majelis Hakim dapat mengadili perkara itu dengan menjatuhkan vonis seadil-adilnya.

"Prinsipnya adalah kita sebagai negara hukum, kita akan ikuti proses hukum," kata Firli kepada wartawan di Gedung Dwiwarna KPK, Jakarta, Jum'at (12/6).

Dalam tuntutannya Jaksa menggunakan dakwaan subsider, yakni Pasal 353 ayat (2) KUHP (tentang penganiayaan berencana) juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dengan ancaman pidana paling lama tujuh tahun penjara.

Sementara itu, Pasal 355 ayat (1) KUHP (penganiayaan berat) jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dengan ancaman maksimal 12 tahun penjara yang digunakan Jaksa dalam surat dakwaan, gugur karena berdasarkan fakta persidangan dinilai para terdakwa tidak memiliki niat untuk melukai Novel. 

Sumber: CNN Indonesia